BRICS dan Upaya Perdamaian di Ukraina

Jalur yang Berbeda: Sikap Lula dan Macron terhadap Ukraina
eyesonindonesia
Amsterdam, 9 Juni 2025 – Saat berkunjung ke Paris, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva menegaskan dukungannya terhadap inisiatif perdamaian yang diusulkan bersama oleh China dan Brasil untuk menengahi konflik yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina. Rencana enam poin ini menyerukan penghentian eskalasi perang, bantuan kemanusiaan, dan konferensi internasional perdamaian, tetapi ditanggapi dengan skeptisisme oleh Ukraina dan sekutunya di Barat karena tidak secara eksplisit menuntut penarikan pasukan Rusia.

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengambil pendekatan yang berbeda. Macron terus mendorong dukungan militer untuk Ukraina, memperingatkan bahwa kemenangan Rusia dapat mengganggu stabilitas Eropa. Meskipun ia belum berkomitmen untuk mengirim pasukan Prancis ke medan perang, ia mengisyaratkan kemungkinan memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina setelah gencatan senjata. Pendekatan ini mendapat kritik dari Moskow, yang mempertanyakan kesungguhan Prancis dalam upaya perdamaian.
Bisakah BRICS Menjadi Mediator Perdamaian?
Aliansi BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—telah memposisikan dirinya sebagai kekuatan tandingan terhadap pengaruh Barat dan semakin ingin berperan dalam penyelesaian konflik global. Lula mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memimpin pembentukan komisi netral guna memfasilitasi pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina. Usulannya menyarankan agar kelompok negara non-blok dapat melibatkan Kyiv dan Moskow dalam dialog, menawarkan solusi kompromi di mana tidak ada pihak yang benar-benar menang, tetapi yang dapat mengakhiri permusuhan.

Dalam KTT BRICS baru-baru ini, para pemimpin seperti Xi Jinping dari China dan Narendra Modi dari India menggemakan seruan untuk mengurangi eskalasi perang, menekankan bahwa konflik tidak boleh semakin meluas. Namun, masih ada keraguan mengenai apakah BRICS benar-benar dapat mempengaruhi perang ini, mengingat keterlibatan Rusia yang mendalam dan ketergantungan Ukraina pada bantuan militer Barat.
Menurunnya Dukungan AS terhadap Zelensky
Seiring berlanjutnya perang, dukungan Amerika Serikat untuk Ukraina mulai melemah. Mantan Presiden Donald Trump mengirim tim ahli untuk mengaudit penggunaan bantuan militer AS oleh Ukraina, yang menimbulkan kekhawatiran tentang korupsi di pemerintahan Zelensky. Administrasi Trump juga menangguhkan bantuan militer, dengan alasan perlunya transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar.

Selain itu, Trump berulang kali mempertanyakan jumlah bantuan yang diberikan kepada Ukraina, dengan mengklaim bahwa Eropa berkontribusi jauh lebih sedikit dibandingkan Amerika Serikat. Audit ini telah menimbulkan spekulasi bahwa Washington mungkin akan mengurangi dukungan finansial dan militer, yang berpotensi menempatkan Ukraina dalam posisi yang sulit.
Kesimpulan: Lanskap Geopolitik yang Berubah
Dengan Macron mendorong dukungan militer berkelanjutan, Lula menyerukan pembicaraan damai, dan Trump mengkaji ulang bantuan untuk Ukraina, lanskap geopolitik perang ini terus berubah. Meskipun BRICS dapat memainkan peran dalam mediasi, keberhasilannya sangat bergantung pada kesediaan Rusia dan Ukraina untuk melakukan negosiasi yang tulus. Selain itu, keraguan AS dalam mendukung Ukraina dapat membentuk kembali jalannya perang, yang mungkin memaksa Kyiv untuk mempertimbangkan kembali strateginya.
Saat dunia menyaksikan, pertanyaan besar tetap ada: Akankah diplomasi menang, atau perang akan terus meningkat?
- Lula pushes China-Brazil 6-point peace plan at UN, already dismissed by Ukraine as ‘destructive’
- Macron warns the West could lose credibility over Ukraine and Gaza wars
- Macron says France won’t send troops to Ukraine ‘tomorrow’ but may give security guarantees
- Moscow says Macron statement to Ukraine peace is not reliable
- BRICS aligns positions and commitments on multilateralism, global peace, and tech security